Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Kamis, 23 Februari 2012

Coret-coret Part 1 ;D

Hallooo >.<
Kali ini saya mau coba-coba bikin cerpen sendiri.. ^^
Thanks yang udah baca, mohon kritik dan sarannyaa (mau banget)!
Like This yooo!


Telepon Untuk Ayah

Film yang barusan kami tonton sangat tidak seru. Kuberi tahu Kau, film itu sangat membosankan, lima menit pertama ketika tokoh utama bermain peran, Kau pasti sudah menguap berkali-kali.
“Kau saja yang memang bukan tipe penonton film itu Ra,” Stella menyanggah komentarku sambil tertawa. Yang benar saja, sudah banyak cerita-cerita membosankan seperti itu. Gadis yang sedang mencari jati diri, lalu tidak sengaja bertemu lelaki idaman, lelaki idaman tiba-tiba dikabarkan mengidap penyakit mematikan, lelaki idaman kemudian meninggal, sang gadis menangis ditinggal mati pasangan. Bah, yang benar saja.
“Ra? Kau tak mau acara kita ini jadi membosankan hanya karena film itu bukan film kesukaanmu, lalu kau tak mau mengajakku bicara?” Stella sudah berdiri tepat di depanku, memelototiku dan berkacakpinggang. Aku menengadahkan tangan anggun, berlagak layakna pengeran, “Tidak nona, apapun kulakukan untukmu,” Stella tertawa.
Stella mengajakku jalan-jalan ke Taman Kota. Hari ini adalah ulang tahunnya. Katanya ia butuh teman baik untuk menemani hari spesialnya. Ia membayar semua yang kami nikmati. Aku hanya memberinya sebingkai foto dan sketsa tentang dirinya.
“Sera! Ini indah sekali!” katanya, lalu memelukku ketika hadiah dariku dibukanya.
Aku menikmati juga acara hari ini (kecuali bagian acara menonton film). Kami makan es krim, berjalan di Taman Kota saat sepertiga isi kota pergi kesana, berbelanja, makan makanan khas kota, berbelanja souvenir untuk keluarga Stella, minum jus, dan jalan-jalan lagi.
Sepanjang perjalanan di Taman Kota, Stella membawa hadiahku di tangannya, sesekali memeluknya erat.

***

Aku memeriksa foto-foto yang berhasil aku potret pagi hari ini. Cukup bagus, bahkan beberapa diantaranya (menurutku) sangat menarik. Foto-foto yang kupotret pada saat acara ulang tahun Stella juga tak kalah menarik. Objek yang kuambil tepat, begitu menurut salah satu dosen di fakultasku ketika melihat foto-foto yang pernah kupotret. Aku tak sia-sia memilih seni rupa dan fotografi sebagai jurusanku. Teman-temannya menyenangkan. Mereka memiliki gaya yang berbeda satu sama lain. Tak ada yang bisa dibosankan di jurusan fotografi, dan selalu ada kejutan di jurusan seni rupa. Semua anak bisa menjadi perhatian jika karya baru yang dibuatnya menarik. Ada saja segala hal yang dilakukan mahasiswanya. Meja mereka tak pernah bersih dari coretan gambar. Kelas selalu ramai dan selalu ada hal baru disana.
Stella bukan teman dari kedua jurusanku, tapi masih satu fakultas denganku. Ia mengambil jurusan seni sastra. Kalau meja mahasiswa seni rupa dipenuhi oleh gambar-gambar, mungkin meja Stella dipenuhi tulisan. Mungkin. Karena blog Stella penuh dengan postingan tulisannya yang tidak bisa dibilang pendek. Lima puluh postingannya dalam dua bulan yang kesemuanya hasil karya tulisnya seperti cerpen buatannya, catatan harian, resensi buku dan film kesukaannya, dan ilmu sastra yang baru diperolehnya di kelas.
            Walaupun berbeda dari teman-teman jurusanku, Stella telah menjadi bagian besar dari kehidupanku di kota ini. Kota yang jauh dari kota kelahiranku, rumahku yang sesungguhnya.
Aku menengok jam tangan, pukul 10.35 pagi. Kegiatan memotretku pagi tadi cukup menghabiskan waktu. Kubereskan laptop, kamera, dan alat-alat gambarku. Kemudian bersiap manuju kampus, bertemu Stella, dan menebak-nebak kejutan apa lagi yang datang dari kelas seni rupa.
Hari ini cerah. Aku sedang berbunga-bunga. Berjalan seperti lagaknya orang kaya, merasa seluruh universitas ini milik sendiri, senyum-senyum pada setiap yang kulihat di jalan. Tapi yang kudapat hanya tatapan aneh orang-orang yang kusenyumi. Belum pernah melihat orang senangkah mereka?
Karikatur buatanku dinilai paling bagus dari seluruh kelas seni rupa. Padahal itu karikatur pertama yang kubuat. Tak ada perasaan dengki dari seluruh teman-teman sekelas. Kami memang bersaing sportif dalam hal berkarya. Aku menjadi perhatian di kelas. Menjadi bahan pembicaraan untuk hari ini dan mungkin hari-hari berikutnya.
Tidak berbeda di kelas fotografi. Beberapa teman meminta softcopy hasil foto-foto potretanku. Mereka bilang foto-foto potertanku luar biasa indah dan tampak nyata. Banyak pula yang bertanya dimana aku memotret semua foto-foto ini. Bahkan beberapa teman yang lahir di kota ini tidak tahu tempat-tempat yang kupotret dari kotanya. Salah satu dosen menawariku mengikuti kompetisi fotografi. Oh, Tuhan.. aku tak tahu apalagi yang bisa kulakukan untuk menyambut keberuntungan hari ini kecuali dengan bersyukur, berdoa, dan senyum-senyum pada setiap langkah yang kuambil.
Stella, ketika tahu kabarku, ia langsung tersenyum, ikut bahagia.
“kau memang pantas mendapatkannya Ra,” katanya. “Kau tahu? Mama sangat suka bingkai hadiah darimu Ra, ia bilang indah sekali foto-fotonya dan sketsanya benar-benar bagus. Bahkan adik-adikku berebut minta digambari. Aku bilang pada mereka kau sangat sibuk, jadi tidak bisa meladeni fans-fans kecil seperti mereka. Lalu aku menawari diri untuk menggantikanmu menggambarnya, dan mereka bilang lebih baik tidak digambari dibanding aku gambari! Kurang ajar sekali mereka!” Stella berkacakpinggang, berpura-pura marah. Aku tertawa. Sudah banyak komentar seperti itu yang kuterima sejak aku tahu aku mulai berbakat dalam menggambar.
            Hei! Sejak kapan aku mulai berbakat dalam menggambar? Ah, itu kuceritakan nanti saja. Hari ini aku sedang senang. Kau tahu, orang yang sedang senang tidak suka diganggu dengan cerita-cerita masa lalu. Tapi masa yang akan datang seakan semakin dekat dan semakin cerah saja.



***

          Asap dari cokelat panas mengepul membuat kacamataku berembun. Aku mengelapnya, melanjutkan kembali menggambar komik-komik ilustrasi untuk sebuah penerbit ternama yang akan meluncurkan buku terbaru mereka, serial novel-komik, yang melibatkan aku sebagai ilustrator komik dan seorang penulis novel yang hebat. Aku bekerja keras dalam hal ini. Karena pekerjaanku inilah aku lumayan dikenali teman-teman mahasiswa satu fakultas dan pembaca-pembaca yang tertarik pada komik-komikku. Karena pekerjaan ini juga aku selalu sibuk, belum lagi urusan kuliah yang mengambil dua jurusan.

            Terkadang Stella tidak suka melihatku selalu bekerja keras. Aku mengira karena alasan itulah Stella mengajakku menemaninya dalam hari istimewanya kemarin. Dia bahkan kaget ketika aku membawakannya sebuah hadiah untuknya, karena dia tahu aku tak punya waktu untuk melakukan hal-hal sepele. Hingga kemudian dia memelukku, mengacak-acak rambut pendekku.

            Dari gaji komik-komikku, aku bisa membeli segala yang kuperlukan. Kamera, laptop, alat-alat gambar yang sebenarnya tidak terbilang murah. Dinding kamar penuh dengan karya-karya foto dan gambarku, dan satu foto berbingkai sederhana. Disana ada ayah, kakak, dan aku ketika masa SD-ku dulu. Ketika lelah bekerja dan kemudian merindukan rumah di kota sana, aku memperhatikan foto itu sejenak.
            Kakak adalah seorang yang menemaniku selama di kota ini sebelum Stella. Ia seorang wanita yang ramah, baik, namu tegas dan berprinsip. Dialah yang menempati kamar ini sebelum akhirnya aku yang menempatinya. Kakak mengambil jurusan biologi. Berbeda denganku, dia tipe wanita yang langsung disenangi wanita manapun. Dia cantik dengan jilbab yang menutupi rambut indahnya. Ketegasannya membuat orang lain tak berani mencoba-coba urusan yang tak penting dengannya. Kecantikannya terwarisi dari ketampanan ayah, dan kelembutannya diwarisi dari ibu.
            Ibuku? Wafat ketika aku lahir. Ayah sungguh terpukul dengan itu. Aku tak sempat mengenal ibu. Itu satu-satunya yang kusesali dalam hidup. Aku sering mendengar cerita-cerita kakak tentang kebaikan, kelembutan dan ketegasan ibu.
“ketika kau melakukan hal buruk, ibu tidak akan memarahimu, tapi akan menasehatimu dengan caranya yang membuatmu tak akan mengulangi kelakuanmu  itu hingga dua kali, “Kakak bercerita pada suatu malam di kamar kami.
            Ibu bukan wanita yang cantik. Tapi balutan jilbabnya yang begitu rapi, membuat ibu terlihat cantik dari dalam. Sebaliknya, ayah adalah pria yang tampan. Masa mudanya ia malah memilih Ibu yang bersahaja sebagai pendamping hidupnya. Ayah juga bukan tipe ayah idaman. Ayah sangat tegas dan sangat sensitif. Aku sering dimarahinya dulu. Kata kakak, ayah mulai bersifat seperti itu sejak ibu wafat. Kakak bilang, mungkin ayah lelah, sehabis bekerja. Aku tak begitu peduli.
            Hanya saat ini, aku tidak menyukai sikap ayah, karena alasan itulah aku menyusul kakak kuliah di kota ini. Mungkin karena asalan itu juga aku jarang menelepon rumah.

***

            Sekarang masih pagi. Ponselku berbunyi keras. Aku merasa tidak mengaktifkan alarm kemarin, ternyata telepon dari Luna, teman kelas fotografi.
            “Ke kampus sekarang Ra! Sekarang! Oke?” Hanya itu, telepon langsung diputus.
            Aku mengikuti kata-katanya, bergegas ke kampus, menebak-nebak ada apa sebenarnya. Mungkin ada tugas mendadak yang penting, atau mungkin ada acara kelas, atau pembagian nilai UAS kemarin dan aku dapat nilai paling buruk! Aku rasa aku sudah mengerjakannya dengan baik.
            Luna langsung menghampiriku ketika sampai di kampus. Ada beberapa anak sekelas juga bersamanya. Mereka langsung menyambutku dengan senyuman dan pertanyaan-pertanyaan aneh.
            “Sera! Mulai besok aku ikut kau membidik foto-foto!” atau
            “Bagaimana caramu melakukannya?” atau
            “Kau hebat Ra! Aku juga ikut dengannya membidik foto denganmu besok ya!”
            Sedangkan aku bingung akan menjawab apa. Ada apa sebenarnya? Belum sempat menjawab dan berpikir, aku sudah ditarik oleh Luna. Sekarang aku akan dibawa kemana?
            “Aku tak akan mengatakannya Ra, aku akan melihat sendiri,” Luna berhenti di depan mading kampus. Awalnya aku tak mengerti, tapi aku menurut. Di depanku ada sebuah artikel yang berisi.. hei, tunggu, benarkah ini? Benarkah artikel gila ini? Benarkah aku memenangkan kompetisi fotografi?
            Aku kaget, berteriak bahagia. Aku memeluk Luna, yang kupeluk nyengir bahagia. Satu per satu teman-temanku ikut menyalamiku. Tak hentinya aku bersyukur. Aku merasa Tuhan ada di pihakku hari ini. Kuajak teman-teman sekelas hari ini untuk makan malam di restoran kesukaanku.
            Stella berteriak tertahan ketika aku mengabarinya soal kemenganganku, “Oh my God, Sera, bahkan orangtuaku pasti gembira mendengar ini. Kau harus mengabari orangtuamu!” Stella setengah berteriak. Aku langsung padam. Aku tak menyukai ide itu. Terakhir kali aku hidup bersama orangtuaku (atau lebih tepatnya ayahku) adalah hal yang paling menyakitkan. Ayah marah besar padaku, mengusirku dari rumah. Kakak hanya bisa menghiburku, mencoba agar aku mengambil sisi positif dari kejadian itu. Tapi aku tetap tak bisa menerimanya hingga saat ini.
            Stella membujuk, kemudian memaksaku. Aku tersinggung, lalu tak sadar mengatakan hal yang membuat Stella terkejut dengan yang kukatakan, dan pergi meninggalkanku. Sebelum benar-benar pergi dari hadapanku, ia berkata, “Sungguh Ra, orangtuamu pasti akan sedih sekali mendengar perkataanmu tadi.” Katanya lirih, matanya berkaca-kaca. Namun saat itu ketidakpedulian menguasaiku lagi.

***

Lanjut ke postingan berikutnyaa xD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar