Oke, langsung baca aja yaa :)
Telepon Untuk Ayah
***
Acara
tadi malam seru sekali. Kami makan sepuasnya di restoran itu. Karena acara itu
aku tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang. Aku tak punya waktu untuk
memotret seperti biasanya. Aku harus cepat menyelesaikan komik-komikku yang deadline-nya tinggal seminggu. Aku
gelagapan. Sebentar lagi kuliah dimulai, aku pasti terlambat. Dengan pakaian
seadanya (jaket dan celana jeans), aku pergi ke kampus tanpa makan pagi.
Kelas
sudah dimulai ketika aku masuk. Beberapa teman tersenyum padaku, mengingat
acara tadi malam. Aku tersenyum tipis. Aku terbayang Stella dan kata-katanya
kemarin. Tiba-tiba papan tulis, meja, layar laptop, wajah teman-teman, dan
dosen berbayang wajah Stella, ayah dan kakak, bergantian, berulang-ulang.
Teringat kejadian dua tahun lalu.
Di
kantin, tanpa sengaja aku melihat Stella. Kelaparan yang melanda sejak pagi
tiba-tiba menguap, hilang. Aku menghampiri Stella, meminta maaf, mengakui
kesalahanku. Tak seharusnya aku marah padanya, karena ini bukan urusannya. Tapi
ternyata kata-kataku masih salah, Stella menyanggah.
“Aku tak peduli bagaimana kemarahanmu padaku Ra, aku
sedih, bagaimana bisa aku berteman denganmu yang membenci orangtuanya sendiri?”
katanya akhirnya menoleh padaku.
“Kau tak mengerti apa-apa tentangku Stella, itu memang
bukan urusanmu.”
Stella tampaknya tersinggung dengan kata-kataku.
“Sahabat baik selalu peduli dengan apa yang terjadi pada sahabatnya Ra,” Ia
kemudian pergi meninggalkanku lagi.
Kenapa
Stella berkata seperti itu? Bahkan aku tak pernah peduli pada keluarganya. Tapi
aku selalu ingat cerita-cerita padaku tentang mamanya, papa dan adik-adiknya.
Dalam nadanya ketika bercerita ia selalu terdengar bahagia. Sedangkan aku tak
pernah bercerita tentang keluargaku. Aku lebih senang mendengarkan dan
merasakan kebahagiaannya. Sesekali ada keinginan untuk memiliki keluarga
bahagia sepertinya. Tapi mana mungkin kan? Terkadang Stella memintaku bercerita
tentang keluargaku. Tapi apa yang bisa kuceritakan? Keluargaku bukan
siapa-siapa. Kami bukan keluarga terhormat dan berada seperti keluarga Stella.
Pikiranku
penuh dengan hal-hal itu. Teringat lagi rumahku yang sebenarnya. Aku sama
sekali belum menelepon rumah beberapa bulan terakhir ini.
Diantara
kebingungan, rasa bersalah, sedih dan marah, aku putuskan untuk menelepon
rumah.
Aku melupakan makan siangku.
***
Agak
lama sebelum akhirnya telepon dariku diangkat. Kakak yang pertama kali berbicara
disana, memberi salam, terdengar nada kejutan ketika tahu aku yang
meneleponnya. Lalu ia bertanya tentang kabarku, kuliahku. Aku menjawab dengan
baik kalimat-kalimat kerinduannya. Tak ada yang berubah dari suaranya, toh aku
hanya belum meneponnya selama empat bulan terakhir ini. Setidaknya dari suara
merdunya aku tahu ia sehat-sehat saja.
“Sekarang aku mengajar di beberapa sekolah dasar. Lain
kali kau harus melihatku mengajar Ra! Kau tahu? Mereka lucu sekali. Aku
teringat masa kecil kita dulu, ketika kau dihukum di kelas, lalu aku
menangis..”
Aku memotong pembicaraannya, “Yah, kau cengeng sekali
waktu itu,” aku tertawa.
“Hei, tapi gara-gara akulah kau dikasihani, lalu
diperbolehkan pulang kan?”
“bukan aku yang dikasihani, tapi guru kasihan padamu
kak, ngomong-ngomong kenapa kau bisa sampai menangis saat itu?” aku
membayangkan wajah malu kakak.
“nng.. saat itu, aku sengaja agar kau bisa pulang..
tunggu, bukan itu yang ingin kuceritakan sekarang. sampai maa tadi? Oh iya,
sekarang aku dapat merasakan bagaimana menjadi guru yang sesungguhnya,
merasakan bagaimana menghadapi anak-anak yang sedikit nakal. Tapi tak sedikit
juga yang hebat dalam menggabar, berhitung, dan menari, mengingatkanku pada kau
yang hebat menggambar hingga sekarang. ketika aku bercerita pada mereka, mereka
takjub dan ingin sekali berjumpa denganmu Ra, eh, bagaimana denganmu?” kakak
tiba-tiba tersadar dan bertanya padaku.
Kakak
agak terkejut ketika aku bilang padanya aku memenangkan kompetisi fotografi.
“Kukira kau akan lebih hebat di bidang menggambar,
kukira kau memenangkan kompetisi menggambar lagi Ra,” Katanya.
“Aku sudah menjadi komikus dan illustrator di beberapa
penerbit kak, tak mungkin aku diterima daftar dalam kompetisi menggambar,
bisa-bisa aku lagi yang menang kak..” aku terkekeh.
Seperti
biasa, kakak mengakhiri pembicaraan kami dengan nasehatnya.
“Kau jangan berhenti mencari ilmu Ra, dan raih
prestasi sebanyak-banyaknya. Kau jangan buat malu kakak di universitas itu ya,
buat bangga kakak dan ayah,” aku tersenyum.
“komik-komikku tidak membuat kakak bangga? Iya kak,
pasti!” tapi justru kata-kata yang terakhir meragukanku. Agaknya ada yang lupa
kuucapkan.
Kakak
menutup telepon setelah sebelumnya mengucapkan salam penutup. Setiap
mendengar kakak di telepon, aku suka
bertanya-tanya, beginikah rasanya jika mendengar suara rindu seorang ibu?karena
kelembutan suara kakak nyaris sama dengan yang diceritakan kakak ketika kakak
menceritakan bagaimana ibu. Andai ia masih hidup.
Oh,
aku lupa, aku lupa menanyakan kabar ayah. Tapi aku terlalu ragu untuk menelepon
kembali. Tarnyata dengan cepat aku melupakannya, dan teringat aku belum makan
siang.
***
Kuharap pembicaraanku dengan kakak di
telepon dapat menjadi bukti untuk membantuku meminta maaf pada Stella. Tapi
sejak pagi aku belum melihatnya di jalan, kantin, atau perpustakaan kampus
seperti ia biasanya. Aku menghela nafas. Apakah ia masih marah padaku?
Jujur, aku kehilangannya. Ia tidak
biasana seperti ini. Biasanya ia menemaniku jalan dan makan siang.
Cerita-ceritanya seperti tak pernah habis. Ia tak seperti teman-teman
sekelasku. Stella itu pendiam. Tapi jika kau sudah akrab dengannya, ia akan
menjadi ceriwis sekali. Seakan setiap detik yang dilewatinya harus selalu
kuketahui. Tapi ia juga tak segan membantu, dan sangat rendah hati. Ia tak
terlalu akrab dengan teman-teman sekelasnya. “mereka berbeda sekali dengan kau
Ra,” katanya waktu itu. Dia pikir aku pengukur standar teman baginya?
Stella sangat manis. Ia menyukai
film-film yang bertema kasih saying. Ia beberapa kali memiliki kekasih, tetapi
akhirnya ia memutuskan untuk hanya memiliki satu kekasih sampai ia menikah
nanti, yaitu Tuhannya.
Mengirngat Stella, mengingatkanku
bahwa ketidakhadirannya mambuatku semakin gelisah, ia juga mengingatkanku
dengan perasaan bersalah semacam ini dua tahun sebelum hari ini. Tepat ketika
aku menjelang masuk universitas ini.
***
Dua tahun lalu, ketika aku SMA.
Aku bermain di rumah Rio hingga lupa
waktu, terlalu asyik. Bukan sekedar bermain sebenarnya. Aku, Dinny, Sena dan
Rio merencanakan membuat klub graffiti mural. Sejak masuk SMP aku mulai
tertarik pada menggambar. Aku sempat menjuarai tiga kompetensi menggambar di
SMP dan empat kejuaraan menggambar tingkat SMA. Akhir-akhir ini semangat
menggambarku menyala-nyala. Ditambah aku akhirnya menemukan teman-teman yang
satu hobi denganu, menggambar. Kami berkenalan lewat jejaring sosial internet.
Mereka sangat hebat. Dinny sangat menyukali menggambar manga (menggambar gaya
Jepang), Sena hobi melukis, Rio selalu menghabiskan waktunya untuk membuat
graffiti koleksiannya, sedangkan aku suka menggambar komik.
Karena itulah kami sangat kompak.
Sejak kami saling kenal, kami selalu bersama-sama. Jalan-jalan, bertukar
pikiran, bertukar komik. Pembicaraan kami selalu tentang gambar dan tokoh
illustrator atau pelukis idola kami.
Sampai akhirnya kami merencanakan
proyek besar- membuat grafiti mural (yaitu gambar yang mengkomplikasikan antara
graffiti, gambar, dan lukisan yang bertemakan kehidupan social.di salah satu
tiang jembatan layang kota kami. Rio bertanggung jawab pada tulisan graffiti
mural kami, Dinny dan Sena gambarnya dan aku ide komik dan mural. Ini pasti
akan hebat sekali. Kami akan dikenal oleh seluruh kota.
Kami benar-benar mnyiapkan mural
dengan segala kemampuan kami. Mengorbankan waktu, tugas sekolah, pelajaran dan
uang. Sudah beberapa kali kami dimarahi oleh orangtua-orangtua dan guru-guru
kami. Tapi kami tidak peduli. Rencana kami terlanjur matang, terlanjur hebat.
Aku beberapa kali dimarahi ayah
karena nilaiku yang tiba-tiba menurun. Dulu, aku sering dimarahi ayah karena
aku belum juga memakai jilbab dan masih berpakaian pendek, seperti laki-laki,
selalu ribut dengan ayah, katanya aku ini anak yang keras kepala. Ayah akan
berkata dengan nada yang tegas, “Dimana urat malumu? Sampai saat ini kau belum
berpakaian seperti kakakmu? Harusnya kau malu pada Tuhan, pada ibumu.” Atau
“apa yang ayah bilang tadi? Keras kepala sekali kau ini.” Atau menyalahkanku,
“pasti ini ulah kau kan? Semua ini terjadi?” aku sudah bosan dengan kata-kata
itu, hingga membuatku tuli, tak peduli.
Hari ini hari penting. Sudah kami
(aku, Dinny, Sena dan Rio) putuskan akan melaksanakan proyek besar yang kami
nantikan. Kami sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah kota, “mural yang
bagus,” kata mereka. Kami bekerja keras hingga malam hari. Sungguh hebat karya
masterpiece kami. Aku yakin orang-orang akan kagum dengan karya ini. Bahkan
fotografer akan terkagum-kagum melihat pemandangan ini, tak berhenti memotret.
Sudah kuduga, kejadian hari ini
menjadi penentu hidupku nanti. Aku pulang begitu larut malam, dengan jilbab
(yang ayah paksa pakai) terbuka dan pakaian penuh warna-warni cat pilox. Ayah
murka melihatku. Alisnya menyatu, wajahnya memerah karena marah, dan tangannya
tegang, bergetar. Aku hanya diam ketika ayah memarahiku. Kakak, yang saat itu
sedang dirumah, ketika mendengarnya ia langsung menahan tangan ayah,
memeluknya, menangis. Mengetahui tingkat kemarahan ayah, aku menahan diri untuk
tidak membantah, tahu diri. Aku lupa apa yang ayah katakan padaku ketika itu,
tetapi yang kuingat, ayah mengatakan, “mulai hari ini ayah lepas tanggung
jawabku sebagai ayahmu, terserah apa yang ingin kau lakukan, ayah tak peduli.”
Katanya dengan suara bergetar, saat itu aku sudah beranjak masuk kamar.
Beberapa bulan setelah lulus sekolah,
aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas kakak di luar kota,
mencoa melupakan ayah dan peristiwa beberapa bulai lalu. Aku mengambil sisi
positifnya- setidaknya ayah bisa hidup tenang tanpa aku dan aku dapat bebas
melakukaan hal-hal yang kusukai. Sejak peristiwa penting itu, persahabatanku
(aku, Dinny, Sena dan Rio) makin baik, bahkan kami masih suka mengaontak satu
sama lain hingga sekarang. Dan sejak peristiwa penting itu ayah tak banyak
bicara denganku, dan aku diantar menuju kota yang baru tanpa pelukan hangat
darinya.
***
Kini aku tahu kenapa Stella tidak
masuk dua minggu ini. Tak mengabariku dan tean-temannya selalu berbisik
tentangnya. Papa Stella sakit keras, dua minggu ini dirawat di rumah sakit.
Mungkin karena Stella sibuk merawatnya, jadi ia tidak bisa masuk kuliah,
sementara mama Stella bekerja.
Dan hari ini aku menerima kabar dari
salah satu teman sekelasnya. Papa Stella
meninggal tapat pukul tiga pagi tadi. Aku tak bisa bayangkan bagaimana
kesedihan Stella saat ini. Ia pasti membutuhkan teman baik disisinya. Ketika
mendengar kabar itu, aku bergegas menemui Stella, entah dirumahnya, atau di
pemakaman. Tak kupedulikan almamater universitas dan celana gunung ang kupakai.
Pemakaman sangat ramai oleh para
pelayat Papa Stella. Aku tak begitu kaget karenaaku tahu Papa Stella adalah
orang yang terhormat. Pasti sulit untuk menemuinya diantara ratusan pelayat.
Aku putuskan untuk menunggu sampai pemakaman tak begitu ramai. Stella ada di
sisi kuburan ayahnya saat aku menghampirinya.
“Stella, ini aku.. aku turut bersedih atas kematian papamu. Sungguh, aku sangat menyesal tidak dapa membantumu kemarin-kemarin. Aku
tak tahu papamu sakit keras. Aku minta maaf, atas apa yang kuucapkan padamu.
Aku salah, sebagai seorang anak aku tak seharusnya berkata sekejam itu bahkan
tentang orangtuaku sendiri. Aku tahu perasaanmu kehilangna seseorang yang kau
cintai. Tapi pasti akan lebih menyakitkan lagi jika sahabatmu satu-satunya
meninggalkanmu kan? Sungguh, aku minta maaf..” kataku lirih, tanpa sadar air
mataku jatuh. Sebenarnya aku tak bisa bayangkan bagaimana orang tua yang sempat
mencurahkan kasih sayangnya padai anaknya tiba-tiba pergi. Orangtua yang sempt
mengasihimu, memelukmu ketika kau takut dan bersedih, menciummu ketika kau
bahagia, mendengar cerita-cerita tentang teman-temanmu, sekolahmu, dan cinta
pertamamu, kemudian ia meninggalkanmu, pergi ke sisi Tuhanmu, tanpa pernah
melihat kau tumbuh dewasa. Secepat itukah kematian datang? Bahkan bagaimana
perasaanku nanti jika hal ini terjadi pada ayah sedangkan yang kulakukan
terakhir kali padanya adalah berkata kasar dan membantahnya? Akankah ayah
mmaafkanku? Bagamana mungkin ayah akan bahagia disana nanti?
Kukira
Stella akan menolakku mentah-mentah lagi dan mengutukku. Tapi Stella malah
menggenggam tanganku. Kurasakan tangannya yang dingin, basah, bergetar. Lalu ia
menoleh padaku dan bilang, “janji? Kau tak akan berkata kasar pada orangtuamu
lagi?”
“aku janji”
Stella memelukku, “kata-kata itu sudah cukup buatku
Ra, aku percaya padamu kau tak akan berkata kasar lagi pada orangtuamu. Aku
yakin papa bahagia disana karena kasih sayang yang sempat kami berikan padanya.
Terimakasih kau telah datang kemari Ra,” ia tersenum. Aku mengangguk.
Aku sudah
berjanji.
***
Stella
dan aku kembali menjadi teman baik. Kuceritakan bahwa karenanya aku menempatkan
diri menelepon rumah. Stella dengan cepat menemukan semangatnya kembali,
beraktivitas seperti biasanya. Sementara aku semakin gelisah, teringat ayah.
Aku
sama sekali belum meminta maaf padanya. Aku belum pernah mengatakan bahwa aku
sadar aku mencintainya. Aku gelisah, takut terlambat untuk mengatakannya. Ingin
rasanya cepat pulang ke rumah, tapi aku sadar aku belum punya cukup uang.
Uangku habis untuk acara makan malam waktu itu, dan uang hasil komik-komikku
kubelikan jilbab dan baju-baju panjang untukku.
Aku
menemukan cara lain. Aku harus meneleponnya. Sudah aku putuskan aku akan
menelepon ayah hari ini. Ragu-ragu aku mengambil ponselku, menekan
tombol-tombolnya. Bagaimana jika ayah masih marah padaku? Bagaimana jika ayah
tak menerima maafku? Atau bagaimana jika ayah malah bertambah marah?
Sekarang
ayah adalah seorang pensiunan. Sehari-harinya ia habiskan untuk bersosialisasi
dan menjaga rumah. Terakhir aku menjenguknya fisiknya tampak mulai melemah.
Tegakah aku untuk tetap tidak peduli dengannya?
Sudah
dua kali teleponku tidah diangkat. Aduh, lama sekali.. ada apa dengan ayah?
Atau kutunda hingga aku pulang ke rumah saja? Tidak, aku harus meminta maaf
sekarang, sebelum terlambat.
Teleponku
akhirnya diangkat. Seorang bapak menyapa member salam. Ayahku. Tiba-tiba
suaraku tercekat, bibirku sulit bergerak.
“halo? Siapa ini?” kata ayah diujung telepon sana.
“ayah, ini aku.. “
“Lila?” ayah menyebut nama kakak. Bukan yah, ini
aku..
“ini aku yah, Sera..”
Ayah tak menjawab. Ayo Ra, kau bisa mengatakannya! Tak
peduli apa kata ayah nanti, tak peduli jika ini membuatmu tak bisa pulang lagi!
Katakana sekarang! kata kan bahwa..
“ayah, maafkan aku, maafkan semua kesalahanku.. ayah,
aku mencintaimu yah..”
Tanpa sadar airmataku jatuh mengenai jilbab biruku.
Mungkin kakak dan Stella akan kaget aku akhirnya telah mengatakannya.
***
Dua tahun lalu, tepat setelah Sera
pulang malam dari kegiatannya bersama teman-temannya. Ketika ia pulang dengan
jilbab terbuka, pakaian berantakan, dan penuh coretan warna-warni cat pilox.
Setelah Sera dan kakaknya sudah
terlelap, tanpa disadari keduanya, ayah masuk ke dalam kamar mereka. Ia
menghampiri tempat tidur Sera. Kau tahu? Wajahnya terlihat amat menyesali
sesuatu. Ayah berbisik disamping Sera.
“maaf nak, ayah bukan ayah yang baik. Ayah tak bisa
banyak bersabar seperti ibumu. Ayah sungguh menyesal dengan kata-kata ayah
tadi. Ayah harap, kau akan lebih baik besok. Ayah tak mau dibenci oleh kau nak,
anak ayah sendiri.. ayah sungguh minta maaf, ayah masih peduli denganmu, ayah
masih mencintaimu nak.. ” kemudian ayah mengecup dahi Sera. Sera tidak tahu.
THE END~~
Thanks For Read It! >.<
Harrah's Cherokee Casino Resort opens on I-15 - KTNV
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino Resort announced 수원 출장안마 today it will open its doors 서산 출장마사지 to the public on I-15 near 구미 출장안마 I-15. 부산광역 출장마사지 The casino resort's 25,000 화성 출장안마