Kali ini saya mau coba-coba bikin cerpen sendiri.. ^^
Thanks yang udah baca, mohon kritik dan sarannyaa (mau banget)!
Like This yooo!
Telepon Untuk
Ayah
Film yang barusan kami tonton sangat tidak seru. Kuberi tahu
Kau, film itu sangat membosankan, lima menit pertama ketika tokoh utama bermain
peran, Kau pasti sudah menguap berkali-kali.
“Kau saja yang memang bukan tipe penonton film itu Ra,” Stella menyanggah
komentarku sambil tertawa. Yang benar saja, sudah banyak cerita-cerita
membosankan seperti itu. Gadis yang sedang mencari jati diri, lalu tidak
sengaja bertemu lelaki idaman, lelaki idaman tiba-tiba dikabarkan mengidap
penyakit mematikan, lelaki idaman kemudian meninggal, sang gadis menangis
ditinggal mati pasangan. Bah, yang benar saja.
“Ra? Kau tak mau acara kita ini jadi membosankan hanya karena film itu
bukan film kesukaanmu, lalu kau tak mau mengajakku bicara?” Stella sudah
berdiri tepat di depanku, memelototiku dan berkacakpinggang. Aku menengadahkan
tangan anggun, berlagak layakna pengeran, “Tidak nona, apapun kulakukan
untukmu,” Stella tertawa.
Stella mengajakku jalan-jalan ke Taman Kota. Hari ini adalah ulang
tahunnya. Katanya ia butuh teman baik untuk menemani hari spesialnya. Ia
membayar semua yang kami nikmati. Aku hanya memberinya sebingkai foto dan
sketsa tentang dirinya.
“Sera! Ini indah sekali!” katanya, lalu memelukku ketika hadiah dariku
dibukanya.
Aku menikmati juga acara hari ini (kecuali bagian acara menonton film).
Kami makan es krim, berjalan di Taman Kota saat sepertiga isi kota pergi
kesana, berbelanja, makan makanan khas kota, berbelanja souvenir untuk keluarga
Stella, minum jus, dan jalan-jalan lagi.
Sepanjang perjalanan di Taman Kota, Stella membawa hadiahku di tangannya,
sesekali memeluknya erat.
***
Aku memeriksa foto-foto yang berhasil aku potret pagi hari ini. Cukup
bagus, bahkan beberapa diantaranya (menurutku) sangat menarik. Foto-foto yang
kupotret pada saat acara ulang tahun Stella juga tak kalah menarik. Objek yang
kuambil tepat, begitu menurut salah satu dosen di fakultasku ketika melihat
foto-foto yang pernah kupotret. Aku tak sia-sia memilih seni rupa dan fotografi
sebagai jurusanku. Teman-temannya menyenangkan. Mereka memiliki gaya yang
berbeda satu sama lain. Tak ada yang bisa dibosankan di jurusan fotografi, dan
selalu ada kejutan di jurusan seni rupa. Semua anak bisa menjadi perhatian jika
karya baru yang dibuatnya menarik. Ada saja segala hal yang dilakukan
mahasiswanya. Meja mereka tak pernah bersih dari coretan gambar. Kelas selalu
ramai dan selalu ada hal baru disana.
Stella bukan teman dari kedua jurusanku, tapi masih satu fakultas
denganku. Ia mengambil jurusan seni sastra. Kalau meja mahasiswa seni rupa
dipenuhi oleh gambar-gambar, mungkin meja Stella dipenuhi tulisan. Mungkin.
Karena blog Stella penuh dengan postingan tulisannya yang tidak bisa dibilang
pendek. Lima puluh postingannya dalam dua bulan yang kesemuanya hasil karya
tulisnya seperti cerpen buatannya, catatan harian, resensi buku dan film
kesukaannya, dan ilmu sastra yang baru diperolehnya di kelas.
Walaupun berbeda dari
teman-teman jurusanku, Stella telah menjadi bagian besar dari kehidupanku di
kota ini. Kota yang jauh dari kota kelahiranku, rumahku yang sesungguhnya.
Aku menengok jam tangan, pukul 10.35 pagi. Kegiatan
memotretku pagi tadi cukup menghabiskan waktu. Kubereskan laptop, kamera, dan
alat-alat gambarku. Kemudian bersiap manuju kampus, bertemu Stella, dan
menebak-nebak kejutan apa lagi yang datang dari kelas seni rupa.
Hari ini cerah. Aku sedang berbunga-bunga. Berjalan seperti
lagaknya orang kaya, merasa seluruh universitas ini milik sendiri,
senyum-senyum pada setiap yang kulihat di jalan. Tapi yang kudapat hanya
tatapan aneh orang-orang yang kusenyumi. Belum pernah melihat orang senangkah
mereka?
Karikatur buatanku dinilai paling bagus dari seluruh kelas
seni rupa. Padahal itu karikatur pertama yang kubuat. Tak ada perasaan dengki
dari seluruh teman-teman sekelas. Kami memang bersaing sportif dalam hal
berkarya. Aku menjadi perhatian di kelas. Menjadi bahan pembicaraan untuk hari
ini dan mungkin hari-hari berikutnya.
Tidak berbeda di kelas fotografi. Beberapa teman meminta softcopy hasil foto-foto potretanku.
Mereka bilang foto-foto potertanku luar biasa indah dan tampak nyata. Banyak
pula yang bertanya dimana aku memotret semua foto-foto ini. Bahkan beberapa
teman yang lahir di kota ini tidak tahu tempat-tempat yang kupotret dari
kotanya. Salah satu dosen menawariku mengikuti kompetisi fotografi. Oh, Tuhan..
aku tak tahu apalagi yang bisa kulakukan untuk menyambut keberuntungan hari ini
kecuali dengan bersyukur, berdoa, dan senyum-senyum pada setiap langkah yang
kuambil.
Stella, ketika tahu kabarku, ia langsung tersenyum, ikut
bahagia.
“kau memang pantas mendapatkannya Ra,” katanya. “Kau tahu? Mama sangat
suka bingkai hadiah darimu Ra, ia bilang indah sekali foto-fotonya dan
sketsanya benar-benar bagus. Bahkan adik-adikku berebut minta digambari. Aku
bilang pada mereka kau sangat sibuk, jadi tidak bisa meladeni fans-fans kecil
seperti mereka. Lalu aku menawari diri untuk menggantikanmu menggambarnya, dan
mereka bilang lebih baik tidak digambari dibanding aku gambari! Kurang ajar
sekali mereka!” Stella berkacakpinggang, berpura-pura marah. Aku tertawa. Sudah
banyak komentar seperti itu yang kuterima sejak aku tahu aku mulai berbakat
dalam menggambar.
Hei! Sejak kapan aku
mulai berbakat dalam menggambar? Ah, itu kuceritakan nanti saja. Hari ini aku
sedang senang. Kau tahu, orang yang sedang senang tidak suka diganggu dengan
cerita-cerita masa lalu. Tapi masa yang akan datang seakan semakin dekat dan
semakin cerah saja.
***
Asap dari cokelat panas
mengepul membuat kacamataku berembun. Aku mengelapnya, melanjutkan kembali
menggambar komik-komik ilustrasi untuk sebuah penerbit ternama yang akan
meluncurkan buku terbaru mereka, serial novel-komik, yang melibatkan aku
sebagai ilustrator komik dan seorang penulis novel yang hebat. Aku bekerja
keras dalam hal ini. Karena pekerjaanku inilah aku lumayan dikenali teman-teman
mahasiswa satu fakultas dan pembaca-pembaca yang tertarik pada komik-komikku.
Karena pekerjaan ini juga aku selalu sibuk, belum lagi urusan kuliah yang
mengambil dua jurusan.
Terkadang Stella tidak
suka melihatku selalu bekerja keras. Aku mengira karena alasan itulah Stella
mengajakku menemaninya dalam hari istimewanya kemarin. Dia bahkan kaget ketika
aku membawakannya sebuah hadiah untuknya, karena dia tahu aku tak punya waktu
untuk melakukan hal-hal sepele. Hingga kemudian dia memelukku, mengacak-acak
rambut pendekku.
Dari gaji komik-komikku,
aku bisa membeli segala yang kuperlukan. Kamera, laptop, alat-alat gambar yang
sebenarnya tidak terbilang murah. Dinding kamar penuh dengan karya-karya foto
dan gambarku, dan satu foto berbingkai sederhana. Disana ada ayah, kakak, dan
aku ketika masa SD-ku dulu. Ketika lelah bekerja dan kemudian merindukan rumah
di kota sana, aku memperhatikan foto itu sejenak.
Kakak adalah seorang
yang menemaniku selama di kota ini sebelum Stella. Ia seorang wanita yang
ramah, baik, namu tegas dan berprinsip. Dialah yang menempati kamar ini sebelum
akhirnya aku yang menempatinya. Kakak mengambil jurusan biologi. Berbeda
denganku, dia tipe wanita yang langsung disenangi wanita manapun. Dia cantik
dengan jilbab yang menutupi rambut indahnya. Ketegasannya membuat orang lain
tak berani mencoba-coba urusan yang tak penting dengannya. Kecantikannya
terwarisi dari ketampanan ayah, dan kelembutannya diwarisi dari ibu.
Ibuku? Wafat ketika aku
lahir. Ayah sungguh terpukul dengan itu. Aku tak sempat mengenal ibu. Itu satu-satunya
yang kusesali dalam hidup. Aku sering mendengar cerita-cerita kakak tentang
kebaikan, kelembutan dan ketegasan ibu.
“ketika kau melakukan hal buruk, ibu tidak akan memarahimu, tapi akan
menasehatimu dengan caranya yang membuatmu tak akan mengulangi kelakuanmu itu hingga dua kali, “Kakak bercerita pada
suatu malam di kamar kami.
Ibu bukan wanita yang
cantik. Tapi balutan jilbabnya yang begitu rapi, membuat ibu terlihat cantik
dari dalam. Sebaliknya, ayah adalah pria yang tampan. Masa mudanya ia malah
memilih Ibu yang bersahaja sebagai pendamping hidupnya. Ayah juga bukan tipe
ayah idaman. Ayah sangat tegas dan sangat sensitif. Aku sering dimarahinya
dulu. Kata kakak, ayah mulai bersifat seperti itu sejak ibu wafat. Kakak bilang,
mungkin ayah lelah, sehabis bekerja. Aku tak begitu peduli.
Hanya saat ini, aku
tidak menyukai sikap ayah, karena alasan itulah aku menyusul kakak kuliah di
kota ini. Mungkin karena asalan itu juga aku jarang menelepon rumah.
***
Sekarang masih pagi.
Ponselku berbunyi keras. Aku merasa tidak mengaktifkan alarm kemarin, ternyata
telepon dari Luna, teman kelas fotografi.
“Ke kampus sekarang Ra!
Sekarang! Oke?” Hanya itu, telepon langsung diputus.
Aku mengikuti
kata-katanya, bergegas ke kampus, menebak-nebak ada apa sebenarnya. Mungkin
ada tugas mendadak yang penting, atau mungkin ada acara kelas, atau pembagian
nilai UAS kemarin dan aku dapat nilai paling buruk! Aku rasa aku sudah
mengerjakannya dengan baik.
Luna langsung
menghampiriku ketika sampai di kampus. Ada beberapa anak sekelas juga
bersamanya. Mereka langsung menyambutku dengan senyuman dan
pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sera! Mulai besok aku
ikut kau membidik foto-foto!” atau
“Bagaimana caramu
melakukannya?” atau
“Kau hebat Ra! Aku juga
ikut dengannya membidik foto denganmu besok ya!”
Sedangkan aku bingung
akan menjawab apa. Ada apa sebenarnya? Belum sempat menjawab dan berpikir, aku
sudah ditarik oleh Luna. Sekarang aku akan dibawa kemana?
“Aku tak akan
mengatakannya Ra, aku akan melihat sendiri,” Luna berhenti di depan mading
kampus. Awalnya aku tak mengerti, tapi aku menurut. Di depanku ada sebuah
artikel yang berisi.. hei, tunggu, benarkah ini? Benarkah artikel gila ini?
Benarkah aku memenangkan kompetisi fotografi?
Aku
kaget, berteriak bahagia. Aku memeluk Luna, yang kupeluk nyengir bahagia. Satu
per satu teman-temanku ikut menyalamiku. Tak hentinya aku bersyukur. Aku merasa
Tuhan ada di pihakku hari ini. Kuajak teman-teman sekelas hari ini untuk makan
malam di restoran kesukaanku.
Stella
berteriak tertahan ketika aku mengabarinya soal kemenganganku, “Oh my God,
Sera, bahkan orangtuaku pasti gembira mendengar ini. Kau harus mengabari
orangtuamu!” Stella setengah berteriak. Aku langsung padam. Aku tak menyukai
ide itu. Terakhir kali aku hidup bersama orangtuaku (atau lebih tepatnya
ayahku) adalah hal yang paling menyakitkan. Ayah marah besar padaku, mengusirku
dari rumah. Kakak hanya bisa menghiburku, mencoba agar aku mengambil sisi
positif dari kejadian itu. Tapi aku tetap tak bisa menerimanya hingga saat ini.
Stella
membujuk, kemudian memaksaku. Aku tersinggung, lalu tak sadar mengatakan hal
yang membuat Stella terkejut dengan yang kukatakan, dan pergi meninggalkanku.
Sebelum benar-benar pergi dari hadapanku, ia berkata, “Sungguh Ra, orangtuamu
pasti akan sedih sekali mendengar perkataanmu tadi.” Katanya lirih, matanya
berkaca-kaca. Namun saat itu ketidakpedulian menguasaiku lagi.
***
Lanjut ke postingan berikutnyaa xD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar