Buat kita-kita, ngomongin ortu pasti nggak ada abisnya.
Celakanya, kebanyakan masalah negatif yang digosipin. Ortu cerewetlah, ortu
nggak gau-lahl, nggak ngertiin apa keinginan dan maksud kitalah, dll. Walhasil,
tak sedikit timbul gap antara kita ama ortu, terutama anak cewek ama bokap. Hm,
sebenarnya ada apa dengan ortu? Kita bahas bareng-bareng yuk…
KALO cewek deket ama ibu, itu seh wajar. Selain karena
sama-sama wanita, intensitas interaksi anak dan ibu yang lebih tinggi membuat
jalinan emosinya lebih kuat. Makanya, anak masih bisa nego kalo dimarahin ibu,
misalkan. Soalnya lebih berani karena merasa lebih dekat. Tapi kalo ama ayah
alias bokap, biasanya anak lebih takut. Mungkin karena wibawanya dan faktor
ketidakdekatan tadi. Apalagi bagi anak cewek, suka ada gap ama
bokapnya.
Seperti yang dialami Lala, pelajar SLTP swasta di Bogor ini
mengaku nggak deket ama bokapnya. ”Biasalah, bokap kan sibuk kerja. Jadi kalo
ada masalah apa-apa, lapornya ya ke nyokap,” akunya.
Alasan lain, bokap Lala terkesan cuek dengan urusan
pribadinya. ”Paling kalo nanya sebatas formalitas aja. Soal sekolah doang,”
cetusnya. Yang bikin kesel, udah nggak care ama urusannya, bokap tuh
suka pelit urusan duit. Malah suka lupa dengan keperluan Lala. ”Lala udah
diijinin les Bahasa Inggris, tapi giliran minta duit buat bayaran malah lupa.
Pernah juga janjiin mo jalan-jalan, malah rapat. Bete, kan,” katanya ketus.
Dian, penghuni kampus rakyat IPB lain lagi. Bokapnya mah
terkenal loyal soal urusan anaknya, termasuk urusan duit. Malah Dian mengakui
kalau ayahnya itu baik banget. Empatinya juga tinggi. But, tetap aja Dian
ngerasa nggak deket. ”Soalnya itu bapak tiri,” akunya (oh, gitu). Dian emang
sengaja menjaga jarak, meski ayah tirinya itu mencoba deket ama dia. So, mereka
nggak pernah nyambung satu sama laen.
Tira, karyawan swasta yang bekerja di lembaga pendidikan ini
juga punya cerita sama. Doi nggak suka tipe bokapnya yang suka maksa. “Pernah
dulu dipaksa supaya kuliah di ekonomi, tapi aku kan lebih suka sastra, jadi ya
berantem deh,” katanya. Sampai kini bokapnya suka mengungkit-ungkit masalah
itu. Apalagi melihat hasil kerja Tira yang belum seberapa. “Penghasilanku emang
pas-pasan, tapi yang penting bisa mandiri,” kata cewek berkacamata minus ini.
Beda
jaman bukan alasan
Banyak yang memandang gap alias jarak antara anak
dan ortu, spesial bokap, terjadi karena perbedaan jaman. Kita sama ortu berasal
dari generasi yang berbeda. Mungkin pada waktu mereka jadi remaja kayak kita,
belum ada komputer, belum ada internet, belum banyak tempat-tempat dugem and
tempat nongkrong kayak sekarang ini. Pastinya mereka nggak bakalan ngerti dong
tentang apa yang ada di tempat-tempat dugem atawa tempat nongkrong remaja. Trus,
apa yang dulu mereka anggap tabu, sekarang malah udah biasa. Misal anak cewek
pulang malam, dulu nggak lazim, sekarang dianggap udah biasa.
Selain itu, usia dan pengalaman hidup ortu menyebabkan
mereka seolah orang yang paling tahu segalanya. Ada nasehat, ada larangan,
harus ini, harus itu. Kebanyakan kita menolak semua yang dikasih tahu orangtua
dengan alasan ketinggalan jaman. Jadinya, karena alasan beda jaman itu,
terjadinya gap antara ortu dan anaknya dianggap lumrah. Fatalnya,
ortu yang sering disalahkan karena dianggap nggak ngerti dunia remaja masa
kini.
Tentu saja nggak semuanya bener, Non. Gap emang
bisa saja terjadi. But, itu pasti muncul karena saling mempertahankan ego
dan perbedaan standar dalam memandang segala sesuatu. Misal karena perbedaan
norma dan pola pikir. Akibatnya, ada bokap yang kurang perhatian dan kasih
sayang karena kesibukannya. Ada pula yang mendidik terlalu ketat atau
sebaliknya, terlalu bebas tanpa adanya pengarahan yang jelas. Perbedaan
pandangan hidup dan cita-cita antara anak dan ortu juga bisa bikin ngarai
pemisah yang dalam.
Padahal, kalau antara ortu dan anak punya pola pikir yang
sama dalam memandang hidup, perbedaan-perbedaan keduanya nggak bakal terjadi.
Apa pola pikir yang sama itu? Tentu saja pola pikir Islam.
Sebab Islam memiliki standar yang jelas dalam memandang segala sesuatu. Standar
itu adalah halal dan haram yang bersumber langsung dari Allah Swt, Sang
Pencipta manusia. Apa yang dikatakan halal, berarti boleh dikerjakan dan yang
haram wajib ditinggalkan. Standar seperti ini tak akan berubah karena perubahan
jaman dan sama di belahan bumi manapun. So, nggak bakalan ada alasan
karena beda jaman pandangan ortu dan anak jadi beda.
Coba bayangin, kalau bokap and nyokap kamu paham Islam,
kamunya juga ngelotok soal hukum syara, pasti dah klop. Soal bergaul misalkan.
Ortu kamu nggak bakal reseh saat kamu udah semester tujuh tapi masih jomblo
alias STMJ. Kamunya juga bisa tenang-tenang ngelanjutin kuliah. Soalnya,?
antara kamu dan ortu sama-sama punya pandangan bahwa pacaran itu haram. Selain
itu, tentunya juga sama-sama ngeh bahwa jodoh itu di tangan Allah. Ortu juga
nggak bakal ketar-ketir karena tahu anaknya nggak suka dugem. Soalnya kamu
nggak merengek minta ijin ngedugem yang di jaman ortu kamu belon ada.
Soal selera musik juga gitu. Kalo ortu kamu paham Islam,
mustinya ngajarin kamu buat mencintai lagu-lagu bernuansa religius dong.
Kamunya juga gitu, karena paham musik itu bisa mengusung ideologi Barat yang
sesat, jadi selektif ndengerin lagu-lagu. So, nggak bikin kesel ortu
karena nyetel heavy metal yang bikin berisik itu. Emang seh, soal
selera bisa beda-beda, tapi nggak menyentuh masalah prinsip sehingga peluang
terjadinya konflik Insya Allah bakalan keciiiil.
Jadi, gap ortu dan anak bukan terjadi sekadar
karena perubahan jaman. Jaman emang berubah, tapi toh kebutuhan hidup remaja
dulu ama sekarang tetep sama. Bentuk dan modelnya aja yang beda. Lagian, seruan
Allah bagi remaja dulu dan kini sama saja. Hanya masalah teknis aja yang
mungkin beda.
Menembus
Gap
Yang jelas, gap yang terjadi biasanya menyebabkan
terganggunya atau bahkan putusnya komunikasi di antara kita sama ortu. Jika hal
ini dibiarkan lama, akan menimbulkan prasangka-prasangka yang tidak baik. Itu
sebabnya, sebaiknya salah satu harus ada yang mau mengalah, dalam hal ini
orangtua akan lebih berpotensi mengalah. Tapi apa salahnya jika kita mulai
mengalah lebih dulu demi terjalinnya komunikasi yang baik dengan orangtua. Oya,
?sudah tentu akan tercipta hubungan berkeluarga yang baik, walaupun berbeda
generasi. So, jangan buru-buru memberontak. Inget lho, kita masih sangat
tergantung dengan orangtua, dan belum bisa mencapai kemandirian yang sempurna
sebagai manusia.
Seandainya gap antara ortu dan kita terjadi semakin jauh.
Akan mengakibatkan masalah-masalah baru dalam keluarga atau bahkan lingkungan
bermasyarakat. Ketika gap antara ortu dan kita terjadi semakin menjauh,
biasanya kita akan mencari lingkungan diluar keluarga untuk menggantikan
orangtua dan keluarga.
Kalau sudah terjadi seperti itu maka ada dua kemungkinan,
kita sebagai remaja menjadi seorang yang benar-benar baik atau menjadi seorang
yang benar-benar tidak baik. Salah-salah kita bisa terjerumus kedalam dunia
hitam pergaulan, seperti kecanduan “drugs”, prostitusi, dlsb. Jadi ada dua
kemungkinan akibat adanya gap antara orangtua dan kita, bisa negatif dan bisa
positif. Semuanya tergantung didikan orangtuanya dan kesadaran diri kita
sebagai remaja. Dibantu juga oleh lingkungan dimana kita tinggal dan bergaul.
Ketika kita merasa adanya gap antara ortu, hendaknya kita
mempunyai sikap yang jelas dan positif dalam menghadapi permasalahan. Kita
harus bisa memahami orangtua jangan sampai terlalu memberontak terhadap
orangtua. Kita harus belajar menerima apa yang orangtua katakan, walaupun
sebetulnya ada penolakan dalam diri.
Kita coba menjelaskan apa yang ada di kepala kita dengan
sabar kepada orangtua. Dan cobalah yakinkan orangtua bahwa norma dan pola pikir
dari orangtua sudah tidak ‘update’ lagi. Oya, harus segera di’update’ tuh.
Selain itu kita juga harus mempunyai norma dan pola pikir yang lebih baik dan
lebih lengkap dari orangtua. Dan untuk itu kita sebagai remaja harus bisa
mencari dan memilah norma dan pola pikir orangtua yang masih bisa diterima dan
dilengkapi pola pikir dan norma yang benar berdasar syara’. So, jangan
semata-mata menjadikan norma yang berlaku di masa kini sebagai rujukan. Itu
bisa salah besar, Non!
So, seandainya terlanjur terjadi gap dengan ortu, jangan
malah mencari pelarian. Jangan mudah terpengaruh oleh keadaan. Jaga pergaulan
jangan sampai terjerumus ke tempat yang ‘gelap’. Cari akar masalahnya dan
selesaikan. Tentunya dengan landasan akdah Islam. Dijamin pasti bisa
diselesaikan. [asri]
Kenali
Tipe-tipe Ortu
Punya ortu dengan kekurangan dan kelebihan apapun, tetap
harus kamu syukuri. Bagaimanapun merekalah yang berjasa melahirkan kita ke muka
bumi ini. Tapi, coba deh kamu pilah-pilah, kira-kira ortu kamu tipe kayak apa.
Dengan begitu, kamu bisa mensiasati cara menghadapi perilaku mereka, kalo nggak
bisa merubahnya sama sekali. So, siapa tahu klasifikasi tipe-tipe ortu di
bawah ini bisa membantu.
1.
Ortu Cerewet
Biasanya seh tipe suka melakukan intervensi untuk segala
urusan anaknya, meski kadang nggak memaksa. Cenderung perfeksionis. Kalau
mengomentari segala sesuatu, meskipun hal yang sepele, nggak cukup satu
kalimat. Butuh dua ampe tiga alinea. Apalagi kalau ngomentari kesalahan, wah…ditambah
bumbu emosi, jadinya kalo diketik satu halaman folio full. Kecerewetannya itu
nggak selalu negatif lho. Soalnya anak kadang perlu dicerewetin. Tapi yang
pasti, untuk menghadapi ortu tipe gini, kamu kudu sabar. Jangan ikut-ikutan
emosi saat hobi nyap-nyapnya dateng, bisa perang ntar. Jangan pula terlalu
diambil ati saat ortu sedang marah-marah. Biasanya itu cuma di bibir aja,
besok-besok bakal dilupain. Lagian, ortu begini juga gampang ngasih masukan,
saran dan kritik yang kamu butuhkan. So, kamu kudu tetep bersyukur punya ortu
model gini.
2.
Ortu Cuek
Nah, ini tipe ortu yang kagak mau tahu urusan anaknya,
kecuali kebutuhan material sehari-hari. Ortu gini tahunya cuma ngurusin
kebutuhan makan, pakaian, peralatan sekolah atawa uang saku kamu. Urusan
prestasi, kamu bergaul ama siapa, punya masalah apa, nggak mau pusing. Biasanya
ortu model gini baru kebakaran jenggot pas anaknya udah ‘jatuh’, misal
terjerumus dalam narkoba, MBA, nggak naik kelas, dll. Menghadapi ortu kayak
gini, kamu musti agresif. Jalinlah komunikasi terus-menerus, jangan malah
‘melarikan diri’ mencari sosok lain. Ceritakanlah, sekalipun hal-hal kecil yang
kamu alami hari itu agar ortu kamu berempati. Mintalah pendapatnya atas segala
hal agar ortu merasa kamu butuh mereka. So, jangan malah memanfaatkan kecuekan
ortu untuk bebas lepas seperti anak ayam kehilangan induknya.
3.
Ortu Killer
Ini ortu yang suka maksain kehendak dan juga suka intervensi
segala urusan. Maunya anak nurutin segala keinginannya. Mereka banyak menuntut.
Malah kadang pake ancaman segala. Misal ‘kalo kamu tetep pake jilbab, nggak
bakal dikasih uang saku.’ Ortu model gini cenderung overprotektif, serba nggak
boleh. Walhasil, anak akan terkekang kreativitas dan pola pikirnya. Nah, biar
kamu nggak ribut-ribut ama ortu model gini, cobalah selami dan pahami pola
pikir mereka, keinginan mereka dan kalo memungkinkan, korek masa remaja mereka.
Nggak sedikit ortu killer karena ‘balas dendam’ masa lalunya. So, kalo suasana
lagi mood, mintalah mereka cerita gimana masa remajanya. Nah, di situ kamu bisa
balik cerita bagaimana dunia remajamu saat ini, harapan dan obsesi kamu. Siapa
tahu mereka malah salut ama pendirian kamu dan? nggak maksain kehendaknya.
4.
Ortu Gaul
Ini termasuk ortu yang ngerti banget kebutuhan remaja masa
kini. Positifnya, ortu peduli ama kamu. Misal ikut menggenjot prestasi kamu
dengan mengijinkan les tetek-bengek, nggak pelit soal duit, mudah diajak
komunikasi, ramah ama temen-temen kamu, dll. Pokoknya kompromistis deh.
Negatifnya, ortu model gini cenderung permisifisme alias serba boleh. Malah
cenderung suka terbawa arus. Demi gaul, modern dan trend, suka nyaranin kamu
dengan hal-hal masa kini. Padahal trend yang berkembang saat ini adalah budaya
hedonisme Barat yang tentu saja bertentangan dengan Islam. So, nggak heran bila
ortu suka risih ngeliat anaknya masih jomblo, nggak gaul, pakaian nggak
ngetrend, dll. Nah, bila ortu kamu model gini, kamu musti bersyukur karena
punya peluang besar untuk mendapatkan segala kebutuhan dan keinginan kamu.
Cuman, kalo terkait dengan hal-hal yang berbeda dengan trend yang ada, kamu
emang kudu sedikit kerja keras untuk mengarahkan pemahaman ortu agar sejalan
dengan kamu. Misal soal pergaulan dan pakaian kamu yang tentunya kudu Islami,
beda ama pemahaman ortu.
5.
Ortu Idaman
Tentu saja nggak ada ortu sempurna di dunia ini yang bisa
disebut ortu idaman. Tak heran bila seringkali, setiap anak kadang selalu
menganggap ortunyalah yang terbaik, atau sebaliknya, paling buruk. But yang
jelas, ortu yang baik tentunya yang bisa mengarahkan kamu menjadi pribadi yang
kuat, menjadikan kamu anak sholeh dan sholehah, ngerti kebutuhan dan keinginan
kamu, nggak memaksakan kehendak dan? bertanggungjawab. Ortu yang bisa jadi
sahabat, tempat menumpahkan suka dan duka. [asri]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar