Hari ini kuharap sesuai rencana.
Tuhan mendengar doaku karena hari ini matahari menunjukkan dirinya di langit.
Hari ini cerah.
Rencanaku adalah bermain bersama
anak-anak itu lalu jalan-jalan mengamati alam, walaupun yang kusebut alam itu
hanya lingkungan sekitar tenda-tenda pengungsian.
Sejak umur lima belas tahun
negaraku terjadi perang saudara. Banyak yang tewas akibat perang ini. Kakek,
nenek, para laki-laki dewasa, anak-anak seumuranku, wanita, hingga menyisakan
anak-anak malang tak berdosa, ditinggal kasih sayang orangtua dan tertinggal
ilmu. Bangunan-bangunan hancur, rumah, masjid, sekolah. Tak ada yang bisa
dibawa ketika bom tiba-tiba datang dan menghancurkan segalanya. Yang terpikir
hanyalah menyelamatkan diri sendiri. Aku sendiri yang mengalaminya. Saat tahu
bom akan mendekat, aku segera keluar rumah dan lari menjauh. Ketika sampai di
tempat aman, aku baru menyadari, keluargaku tak ada bersamaku. Saat api padam,
aku berlari menuju rumah yang hanya menyisakan puing-puing. Disana tergeletak
mayat ibu dan adikku. Sementara ayahku mungkin sudah berlari entah kemana dan
tidak bersamaku. Di depan mayat ibu aku menangis. Sekuat apapun laki-laki, ia
akan menangis berlutut ketika orang yang dicintainya meninggalkannya.
Ibuku sangat menghargai ilmu
walaupun ia tak bias membaca. Ibu sangat senang melihat angka. Ia bilang aku
pintar. Walaupun di sekolah aku hanya dapat peringkat sepuluh. Peringkat
sepuluh yang jujur karena aku benci berbohong. Dan aku bangga dengan itu. Ayah
dan ibu juga bangga. Mereka selalu mengingatkanku untuk tidak saja mencari
ilmu, tapi juga mengamalkannya. Karenanya, aku ingin jadi guru suatu saat.
Tapi lihatlah sekarang, aku sudah
jadi guru. Sejak umur enam belas tahun aku hidup di tenda pengungsian. Aku
melihat anak-anak kecil yang periang, semangat, tapi tak bias membaca.
Kuputuskan untuk mendekati anak-anak kecil itu, bermain, dan sedikit demi
sedikit kuajarkan membaca. Sulit awalnya ketika mereka mudah bosan dan memilih
untuk bermain bola. Sekarang, sebagian mereka bahkan sudah pandai menghitung
dan menulis.
Anak-anak ini semakin bertambah
seiring bertambahnya daerah-daerah yang hancur akibat perang. Aku jadi punya
pekerjaan tetap, guru tenda pengungsian. Anak-anak memanggilku ‘kakak’,
sehingga orang-orang juga memanggilku ‘kakak’ tanpa tahu namaku. Walaupun hanya
bersekolah sampai tingkat menengah pertama, aku bangga dapt berguna dan
mengamalkan ilmu yang aku ketahui pada orang lain. Tidak ada orang dewasa lain
yang dapat diserahkan tugas sepertiku. Saat keadaan perang seperti ini, para
laki-laki dewasa dikirim ke medan perang. Saat itulah keluarga-keluarga yang
beruntung masih hidup melepas ayah, suami, saudaranya ke medan perang. Itu
artinya keluarganya tidak akan mendapat kabarnya lagi sebelum perang berakhir.
Tapi bagaimana jika lelaki itu ternyata tewas dan baru diketahui ketika perang
berakhir?
Aku benci peperangan. Tidak
bisakah para pemimpin itu mengerti bahwa di daerah kekuasaannya yang seharusnya
ia lindungi terdapat ratusan keluarga tanpa ayah atau tanpa ibu atau hanya
menyisakan anak-anak malang yang tersisa? Aku bertekad akan berjuang demi
Negara dengan ilmu. Mengajarkan ilmu tanpa pamrih adalah jawaban yang tepat.
Menjadi guru yang tak hanya mengajar, tetapi juga melindungi adalah guru yang
sebenarnya. Aku akan mengajarkan anak-anak ini ilmu untuk masa depan mereka.
Aku sudah berjanji.
***
Anak-anak miskin memang memiliki
semangat paling besar. Tim-ku kalah 1-0 dengan anak-anak kecil kurus tapi
cerdas ini. Lalu kami semua berteduh di bawah pohon besar. Tempat biasa kami
berkumpul untuk belajar.
“kak,
habis ini kita melakukan apa?” Tanya bocah yang berkulit hitam.
“belajar
matematika saja kak, aku belum ngerti yang kemarin.. “
“ah kau ini, kemarin sudah
matematika, sekarang ilmu alam.. ya kan kak?”
Aku tersenyum, “iya, sekarang
kita jalan-jalan, apa yang akan kita pelajari di ilmu alam sekarang? Tanaman?”
tanyaku pada mereka.
“tentang kupu-kupu saja kak!”
seorang gadis kecil menjawab.
“iya ya, kita belum beljar
tentang serangga kan?” tanyaku lagi.
Anak
anak menggeleng. “kalau begitu kita jalan sambil mencari serangga apa yang akan
kita pelajari, ayo!” ajakku.
Hari
itu sangat cerah. Semangat anak anak ini belum dan tak ada habisnya. Aku kagum
bagaimana cara mereka mempelajari ilmu. Masing-masing punya karakteristik yang
berbeda dan saling melengkapi. Indah sekali.
***
Malam
masih belum berakhir ketik kudengar teriakan seorang anak kecil dibelakangku, “kak!
Kakak mau kemana?”. Kudengar juga beberapa
pasang kaki kecil berlari menghampiriku. Aku berhenti berjalan dan menoleh pada
anak-anak itu. Wajah wajah kecil bertubuh kurus. Anak-anak melarat yang punya
semangat tinggi. Taak pernah kulihat wajah mereka bersedih seperti ini kecuali
saat kala pertama mereka tinggal di tenda pengungsian. Tapi sekarang aku melihatnya
lagi, untuk terakhir kalinya.
Aku
berlutut menymakan tinggiku dengan mereka. Aku tetap berusaha tersenyum.
“kakak
diberi amanah untuk pergi ke medan perang” kataku.
“kenapa
kakak pergi kesana? Nanti yang mengajari kami siapa? Taanya gadis kecil berjilbab.
“umur
kakak sudah mencukupi untuk diberi tugas berjuang di medan perang. Doakan saja
agar kakak selamat. Kakak berjanji kalau perang berakhir dan kakak selamat,
kakak akan pulang kesini bertemu kalian dan mengajar kalian lagi. Sementara ini
kalian pasti bisa belajar bersama, kakak akan berdoa agar kalian cepat mendapat
guru pengganti kakak.” Kataku pada mereka.
Mereka
diam. Tiba-tiba seorang anak lelaki kecil menangis, lalu memelukku. Aku
membalas memeluknya. Satu persatu anak anak itu menangis dan ikut memelukku.
Kurasakan kehangatan yang indah. Rasa hangat yang dapat ditemukan jika bersama
keluarga. Mereka adik-adikku yang aku lindungi, sayangi dan aku kasihi. Mereka
adalah pohon-pohon kecil. Butuh air dan pupuk yng cukup, lalu kita akan dibuat
terkejut setiap hari dengan tumbuhnya daun-daun, batang, dan bunga-bunga mereka. Dan ketika besar, mereka
adalah sumber kehidupan yang semua makhluk membutuhkannya. Mereka adalah
anak-anak kecil pengganti adik kandungku, ayah, dan ibu.
Aku
benar-benar berusaha untuk tidak menangis. Tetapi pelukan mereka benar-benar
erat dan tulus. Dengan lembut dan perlahan, aku melepas pelukan mereka.
“kakak
jangan sakit ya,” kata anak yang paling kecil.
“nanti
kakak ngajar lagi ya” kata anak yang paling besar.
Lalu
anak-anak lain tak mau kalah.
“kakak
tenang sajaa, Allah selalu temani kakak!” aku ingat kata-kata itu, selalu
kuucapkan pada mereka setiap malam menjelang tidur.
“kalau
pulang cerita kisah kakak pada kami ya!”
“jangan
lupa main bola kak!”
Aku
hanya menjawab kata-kata mereka dengan anggukan dan senyuman. Kulambaikan
tanganku kepada mereka.
“kakak
pergi ya! Assalamualaikum!”
Lalu ku
berpaling, kembali menatap jalan yang harus kulalui. Setiap langkah kaki yang
terus kuambil, kuputar kembali film memori yang kulalui bersama anak-anak
pengungsian. Lalu aku bandingkan dengan film baru yang akan kujalani. Besarnya
kasih dari anak-anak itu membuatku akhirnya menangis.
Mulai
dari sinilah hidupku akan berubah. Menjalani kehidupan di medan perang. Mungkin
inilah yang dirasakan pada setiap laki-laki yang telah dikirim sebelum aku.
Antara mati atau hidup menjdi pilihan yang sudah di depan mata.
Aku
tetap pada tujuanku. Menghentikan perang daan mendamaikan kembali negeri kami
yang bertahun tahun terjadi perang saudara. Aku tetap akan belajar dan
mengajar. Aku tahu, satu-saatunya cara mendamaikan negeri ini bukanlah dengn
peperangan, tetapi dengan ilmu, kesadaran dari diri sendiri, dan keputusan
Tuhan. Aku akan membangun negeri ini dengan ilmu. Aku sudah berjanji.
THE END~~
Thanks For Read It! ^w^