Vbi Djenggotten : Pesan Reliji Tanpa
Menggurui
Berawal dari ketertarikannya akan komik Lagak Jakarta-nya
Benny-Mice di tahun 1997, Vebi Surya Wibawa alias Vbi Djenggotten yang saat itu
masih duduk di bangku SMA tergerak keinginannya untuk ngomik. Meski begitu
lulusan Universitas Brawijaya Malang jurusan Arsitektur ini, baru kesampaian
ngomik pada tahun 2007 dan memulai debutnya lewat Aku Berfacebook Maka Aku Ada
(2009, Bikumiku), yang dicetak ulang dengan judul dan oleh penerbit berbeda.
Dengan gaya kartun, komik-komiknya sarat akan kritik sosial, baik tentang
pemerintah, masyarakat dan budaya, terutama di Indonesia. Dan yang terbaru,
komik 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut (2011,
Zaytuna) yang merupakan tafsiran-visual ala Vbi atas 33 hadits Nabi yang
mencoba memaparkan solusi atas fenomena kehidupan sehari-hari.
Apa yang menginspirasi ayah satu anak ini membuat komik 33
Pesan Nabi yang relijius setelah sebelumnya mengangkat tema-tema populer
seperti Aku Berfacebook Maka Aku Ada dan Married with Brondong?
Bagaimana tanggapannya tentang masyarakat dan pemerintah ideal yang sering
disinggung dalam komik-komiknya? Dan apa yang melatarbelakangi dibuatnya
komik Married with Brondong? Yuk, mari disimak
Komik pertama Anda tentang booming
Facebook (Aku Berfacebook Maka Aku Ada). Apakah kebetulan atau mengkuti tren?
Maksud komik ini adalah tentang eksistensi setiap individu.
Pas moment-nya booming, terus lihat orang-orang nggak bisa lepas
(dari FB). Dan sepertinya FB itu syarat seseorang untuk bisa tampil. Dia jadi
orang yang “nggak ada” ketika tidak meng-update Facebook. Sebuah sindiran,
bahwa sebenarnya Facebook cuma salah satu alat, bukan berarti hidup ‘tuh ada di
situ. Dan komik ini merupakan komik eksperimental karena ini merupakan salah
satu media bagi saya untuk mencari bentuk alur dan karakter.
Dua komik pertama Anda mengangkat
tema-tema populer. Mengapa beralih ke tema reliji? (33 Pesan Nabi)
Yang dua komik pertama sebenarnya agak reliji, tapi
nggak eksplisit. Baru yang sekarang saya mencoba lebih gamblang, benar-benar
eksplisit dengan identitas agama. Banyak orang yang mengira bahwa Islam itu
keras, tidak manusiawi, tetapi ketika saya mencoba belajar lagi, ternyata yang
saya pahami jauh dari kesan itu. Salah satunya dari buku-buku hadits milik
almarhum mertua saya. Ternyata banyak penjelasan yang mungkin kurang diekspos
ke orang banyak. Nah, dari situ saya coba transformasikan ke dalam bentuk
komik. Dan alhamdulilah banyak orang yang menerima. Banyak yang awalnya merasa
berat ketika membaca buku hadits-hadits yang tebal, ketika ketemu komik ini
mereka malah mau baca (buku hadits). Bagi saya adalah ini sebuah jembatan baru
dalam bentuk yang ringan, tanpa berusaha menggurui, karena ini juga salah satu proses
belajar saya dalam memahami agama.
Siapa segmen pembaca komik
tersebut?
Segmen awal sebenarnya semua kalangan, semua umur, tapi
ternyata, kebanyakan pembeli adalah orang tua yang berasumsi bahwa ini
merupakan bacaan untuk anak-anak mereka. Dan mereka baru menyadari bahwa buku
ini cocok untuk segala umur ketika ikutan baca. Banyak orang yang mengira bahwa
ini merupakan komik untuk orang Islam saja, padahal tidak. Sebenarnya orang
non-Islam pun bisa baca juga, untuk kenal, “ini lho, Islam kaya begini, bukan
cuma seperti yang banyak ‘digoreng’ selama ini”. Alhamdulilah responnya bagus
dan sekarang sudah cetakan ketiga.
Komik Anda sarat akan kritik
sosial. Mengapa Anda tertarik dengan hal tersebut?
Awalnya setelah di Jakarta mengalami, “shock culture”. Kalau
baca berita isinya cuma bikin eneg. Jalan-jalan ke sini, isinya macet,
pedestrian nggak benar. Dari situ akhirnya banyak keluhan. Kok nggak bener,
sih, pemerintah? Bikin ini nggak beres, bikin itu nggak beres. Akhirnya,
‘gimana kalau kita jadikan ini sebuah komik? Lumayan, lah, mungkin bisa jadi
masukan atau sekadar dokumentasi. Daripada cuma berlalu begitu saja.
Lalu, masyarakat dan pemimpin yang
ideal menurut Anda bagaimana?
Kalau ngomong ideal susah, ya, apalagi kondisi sekarang.
Tapi di satu sisi saya bersyukur, jadi banyak inspirasi, makin gatel ingin
berkarya. Kalau idealnya, ya masyarakat madani. Cuma mungkin itu utopia, ya.
Mungkin suatu ketika bisa terwujud masyarakat seperti itu. Ketika seorang
presiden mau jalan-jalan mengunjungi tiap warga di RW-nya. Atau mungkin untuk
sekadar bikin acara nikah aja dia nggak perlu bikin acara gede-gedean di saat
masih ada rakyatnya yang kelaparan.
BOX
Komik yang diinspirasi dari kisah nyata ini menceritakan
perjalanan cinta antara Bo dan Jo. Bo, pria yang umurnya 7 tahun lebih muda
dari Jo. ‘Pertentangan’ pun bermunculan dari orang-orang terdekat di kedua
pihak karena perbedaan usia. Dituturkan oleh Vbi, ide komik ini muncul sekitar
3 bulan setelah pernikahannya dengan Mira Rahman, istri sekaligus partner berkomik
dalam buku ini. Saat itu mereka yang tengah memeriksa kandungan, merasakan
tatapan “aneh” dari perawat yang memeriksa ketika melihat tahun kelahiran
pasangan ini. Bukan itu saja, menjelang pernikahan juga banyak hal-hal “aneh”
yang mereka alami, terkait perbedaan usia yang terpaut jauh. “Jadi
akhirnya dari situ… daripada orang aneh-aneh menganggap kita sebagai hal yang
anomali, kita umumin aja sekalian lewat komik. Jadi sekalian numpahin unek-unek
dan memberitahu bahwa tidak ada yang aneh dalam pernikahan ketika usia suami
jauh lebih muda dari istri…”, ungkap Vbi.
Sekian postingan saya kali ini. Mas Vbi, tunggu saya jadi
komikus seperti Anda nanti! Yeah!
Sumber :